BAB
2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
DAN TUJUAN KONSTRUKSI PENGETAHUAN
Menurut faham konstruksi pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari
orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari
guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa
yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana
terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan
sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang
belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus
(Suparno, 1997).
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan,
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar
yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman
sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan
fasilitasi orang lain
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
1) Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
2) Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
3) Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori
atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar,
1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru
dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran
karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa
dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993;
Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep
penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone
of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of
Proximal Development
(ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah
di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah
bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan
kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat
berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang
mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut
pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang
kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika
sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest,
1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992)
menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi
dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal
siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang
diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai
dengan karakteristik RME.
B. HUBUNGAN
KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN.
Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia.
Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan
Konsep, Teori Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.
1) Teori Belajar Konsep
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini
dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang
menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori
perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus
menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah
mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk
pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk
mengarahkan sisiwa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori
perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan
suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid
sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuan. Konstrutivisme dan Teori
Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian
yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali mereka
masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian
ilmuan. “Salah pengrtian” dalam memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme
dan teori Perubahan Konsep, bukanlah akhir dari segala-galanyamelainkan justru
menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.
2) Teori Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat
memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar
ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme.
Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena,
dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian
yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu
siswa aktif.
3) Teori Skema.
Menurut teori
ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau sekema yang terdiri
dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa
pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan
kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi
lebih luas dan berkembang.
4) Konstrtivisme, Behaviorisme,
dan Maturasionisme
Konstruktivisme berbeda dengan Behavorisme dan Maturasionisme. Bila
Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran,
konstruktivime lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian yang
mendalam. Bila Maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang
sesuai dengan langkah–langkah perkembangan kedewasaan. Konstruktivisme lebih
menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian
Maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada,
dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang lengkap. Menurut
Konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara
aktif, meskipun ia berumur tua akan tetap tidakakan berkembang pengetahuannya.
Dalam teori ini kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu
menjadi orang yang kritis menganalisis sesuatu hal karena mereka berfikir dan
bukan meniru saja.
Kadang–kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori
Pencarian Sendiri (Inguiry Approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat
secara teliti, kedua teori ini tidak sama. Dalam banyak hal mereka punya
kesamaan,seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat
terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme
tetapi tidak semua semua konstruktivis dengan metode pencarian sendiri. Dalam
konstruktivisme terlibih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar
bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri.
Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa
mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan
bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.
C. CIRI-CIRI
PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
memberi peluang kepada murid
membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia nyata.
Ø
Menggalakkan
soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.
Ø
Menyokong
pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid.
Ø
Mengambilkira
dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
Ø
Menggalakkan
& menerima daya usaha & autonomi murid
Ø
Menggalakkan
murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
Ø
Menganggap
pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
Ø
Menggalakkan
proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.
D. PRINSIP-PRINSIP
KONSTRUKTIVISME
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam
belajar mengajar adalah:
Pengetahuan dibangun oleh
siswa sendiri
Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri
untuk menalar
Murid aktif megkontruksi
secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
Guru sekedar membantu
menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
Menghadapi masalah yang
relevan dengan siswa
Struktur pembalajaran seputar
konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
Mmencari dan menilai pendapat
siswa
Menyesuaikan kurikulum untuk
menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru
tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus
membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu
proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat
bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa
agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
E. HAKIKAT ANAK MENURUT
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan
Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap
tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan
anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan
Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar
melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan
dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun
dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba
dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian
di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah
tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual
atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual
terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang
sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan
dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu
cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan
hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku
intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang
interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul
(akomodasi).
Berbeda dengan
kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan
oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62).
Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis
Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya
pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi
dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)
adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
F. HAKIKAT
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME.
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kcil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan
antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan
antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991:
12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian
di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam
proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada
apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu
materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain penekanan
dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan
matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika
menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih
bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling
bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya
Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif.
Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa
lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
G. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME.
1. Kelebihan
Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid
berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
Faham :Oleh kerana murid
terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham
dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Ingat :Oleh kerana murid
terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka.
Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi
baru.
Kemahiran sosial :Kemahiran
sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina
pengetahuan baru.
Seronok :Oleh kerana mereka
terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
2. Kelemahan
Dalam bahasan
kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya
dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
H. PROSES
BELAJAR MENURUT KONSTRUKVISTIK.
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan
kontruktifistik dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar,
dan evaluasi belajar.
1. Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2. Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3. Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4. Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
1. Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2. Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3. Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4. Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5. Evaluasi.
Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya
berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan,
serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
I. IMPLIKASI
KONSTRUKTIVISME PADA PEMBELAJARAN.
Beberapa model pembelajaran matematika yang dilandasi paham kontruktivisme
adalah adalah : (1) Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan (2) Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
1. Model
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Model
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan teori belajar mengajar dalam
pendidikan matematika. Teori PMR pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori
ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus
dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini
berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan
bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”.
Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada
sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip
penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal,
sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis
matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal
dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian,
perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan
pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi
vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan
penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan
penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian
seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den
Heuvel-Panhuizen, 2000) .
Berdasarkan
matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika
dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik,
strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan Mekanistik merupakan pendekatan
tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri
(diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan
ini manusia dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak
digunakan.
Pendekatan Emperistik adalah suatu pendekatan
dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat
menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan Strukturalistik merupakan
pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara
panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai
melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan Realistik adalah suatu pendekatan
yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran.
Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat
menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Karakteristik PMR : Karakteristik PMR
adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi
siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment)
(Treffers,1991).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
blog ini masih banyak dengan kekurangan, mohon komentarnya